Rabu, 29 April 2015

Cerita Lain Beauty and The Beast




Ia memandangi setangkai mawar yang tidak lagi utuh di dalam kotak kaca persis di dekat jendela. Ruangan yang agak gelap menutupi wajah Vahn, si buruk rupa.  Matanya yang lelah tidak terlihat jelas di bawah lampu, kali ini ia sudah putus asa, kesempatannya untuk menemukan cinta sejati pupus sudah.

“Masih ada 7 hari sebelum purnama, Pangeran,” kata si ceret berbahan logam menghibur.
“Cinta sejati tidak akan pernah terlambat datang,” si cangkir kopi menimpali.

Vahn tidak menanggapi kalimat yang mereka lontarkan, sejak penyihir jahat itu mengutuk sang pangeran dan penghuninya, ia tidak pernah lagi bertemu dengan orang lain di luar istana. Malam itu badai salju turun. Perapian di ruang tengah tidak mampu menebas angin dingin yang menusuk tubuh.

“Aku akan keluar mencari kayu bakar, tunggu saja disini.” Vahn mengenakan jubah hitamnya yang hangat.
“Tapi, Pangeran?” Salah satu dari mereka memprotes si buruk rupa agar tidak menginjakkan kaki keluar istana, tetapi Vahn seolah-olah tidak mendengarnya.  

Beberapa menit berlalu, ia belum menemukan kayu bakar di dalam hutan, angin kencang menghambat langkah kakinya untuk cepat mendapatkan. Tak lama itu, dilihatnya sosok manusia tergeletak tidak berdaya.

“Ia kedinginan!” gumam Vahn setelah melihat gadis cantik yang jatuh akibat terseret badai salju.

Setibanya di istana, gadis itu belum juga sadar, hingga keesokan harinya ia terkejut melihat dirinya berada di tempat asing. Ditelusurinya setiap ruangan, tak juga ditemukan siapa yang sudah menolongnya dari badai tadi malam.
“Kau sudah bangun?” Vahn mengagetkan.
“Terimakasih, tuan,” kata gadis itu memberi salam.
“Kau tidak terkejut melihat rupaku?!”
“Memangnya ada yang salah?” si gadis tampak heran.
Bagaimana mungkin?! batinnya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikanmu tuan?” Katanya menawarkan diri.
Vahn mencari akal. Tidak ada salahnya untuk menyuruhnya tetap tinggal, pikirnya dalam hati.
“Aku bisa membantumu membersihkan tempat ini selama beberapa hari.”
Di...dia...bisa membaca pikiranku?
“Baiklah.” Vahn mengiyakan tawaran gadis itu, ia merasa ada kebahagiaan menyeruak di dalam dirinya.

Beberapa hari berlalu, kedekatannya dengan si gadis cantik membuatnya semakin jatuh, ia berniat untuk menyatakan cintanya sebelum semua kelopak mawar tidak bersisa lagi.
“Bersediakah kau menjadi istriku?” Vahn memberanikan diri.
Tanpa rasa ragu, si gadis mengangguk setuju.

Keajaiban datang, seluruh ruangan bersinar terang. Si buruk rupa berubah wujud, tetapi tampaknya ada yang salah. Bukannya kembali menjadi pangeran, Vahn kini terpampang di atap istana menghadap jalan. Gargoyle!*)
“Kau bukan cinta sejatiku!” teriaknya.
“Kau lupa denganku, Pangeran? Aku yang mengutukmu menjadi si buruk rupa tempo dulu. Hahaha!” Gadis itu berubah menjadi sosok penyihir yang mengerikan.

*)Gargoyle adalah patung pahatan berbentuk monster yang ada di bangunan pada abad pertengahanDi rancang untuk mengalirkan air dari atap agar menjauhi bangunan. Mencegah air hujan mengenai dinding bangunan karena akan mengikis mortar (seperti semen) yang terdapat diantara balok batu yang menyusun bangunan tersebut. (Sumber)

#Prompt76 "Gargoyle" in MFF : 399 words ( di luar catatan kaki )



Selasa, 07 April 2015

Mungkin Bib Benar



Sumber : kaskus.co.id

Anak manis janganlah dicium sayang, kalau dicium merahlah pipinya...”
“Lagi-lagi si Kumara, seperti nggak ada yang lain.” Si rambut keriting menggelengkan kepalanya, berusaha memaklumi kebiasaan pemuda berjangkung itu setiap usai makan siang.
Soleram, anak yang manis...”
Fur Elise1) . Itu lebih baik.” Awalnya pria itu menatapnya sinis, kemudian tertawa.
“Lagu tanpa lirik maksudku, haha,” katanya menambahkan.

Tampaknya gurauan Bib tak dihiraukan pemuda ini, ia tetap melanjutkan bait demi bait.

“Anak manis janganlah dicium...”
“Atau paling enggak, volumenya dimute aja.” Kali ini terkesan nada serius.
“Oh, soleram...”
“Heh! Kau tuli? Tidak lihat aku harus menyelesaikan deadline-deadline ini?” Ia mulai naik pitam. Merasa berada dalam situasi tidak menyenangkan, dibantingnya berkas-berkas itu ke meja kerja, lalu bergegas meninggalkan Reedo dan suara bisingnya.
Kawan lama ditinggalkan jangan...”
“Hhh... terserah apa katamu!” Ia tetap pergi meninggalkan mejanya.
“Itu sebagai lirik penutup dari lagunya dan kau tetap memilih jauh dariku saat menyusun laporan? Apa kau yakin, Bib? Haha.” Terselip ledekan yang tertuju kepada rekan kerjanya itu.
“Dasar licik!” Bib bergumam kesal. Pria itu kembali ke meja kerja, melanjutkan list yang harus diserahkan kepada atasannya.
Well, masih tetap aku yang menang ckck,” kata pemuda itu menjagokan diri.
“Reedoooo! Tidak bisakah kau mengunci mulutmu itu?!”
“Skakmat, hahaha.” Pemuda yang disapa Reedo itu masih saja melempar panah tajam ke arah Bib, sahabatnya sejak duduk dibangku SMA.
“Kalau bukan karena job ini, aku sudah minggat dari tadi!” gerutu Bib kesal.
“Kau kan sudah tau kenapa harus lagu favoritnya Kumara yang kunyanyikan, apalagi ...” Reedo mulai serius dengan perkataannya. Tidak sempat ia melanjutkan, Bib  protes.
“Lalu? Menurutmu aku akan diam saja jika ancaman menggangu ketentramanku?”
“Ah, kau ini. Hiperbola! Aku cuma ingin bernostalgia, memangnya nggak boleh?”
Bib tidak menjawab, ia memanfaatkan kesempatan sebelum Reedo mengulangi lagu kedaerahan yang monoton itu.
“Oh, ternyata sahabatku ini melupakan sejarah yang teramat penting?”
“Maksudmu?" Mata Reedo mengisyaratkan kebingungan.
“Apa perlu ku jelaskan?”

Entah kenapa ruangan yang tadinya diisi dengan gurauan dan tawa tiba-tiba berubah hening dan sedikit mencekam.

“Cukup! Jangan dilanjutkan!” Reedo membentak.
Bib berusaha mengerem kalimat yang agaknya mengganggu ingatan Reedo. Bib ingat betul, 2 tahun lalu ada undangan pernikahan melesat diatas meja kerjanya. Ia ternganga saat membaca nama mempelai perempuan tertera di pita berwarna emas. Kumara Ayu Dewi. Perempuan senja yang pernah memberi seikat janji pada sahabatnya, Reedo. Bib tidak tahu persis apa yang telah dikatakannya kala itu.
“Hei kawan...”
“Masih ingat kata-kataku tempo lalu?” katanya melanjutkan.
“Merpati dalam sangkar nggak akan betah berlama-lama jika sesekali tidak melihat jendela, melirik merpati-merpati lain yang lebih gagah. Nggak menutup kemungkinan ada lelaki lain yang lebih dulu mencium pipinya. Bisa saja kau yang datang terlambat.”

Reedo tak bersuara, ia bergeming.

“Aku hanya mengingatkan.” Bib menepuk pundak sahabatnya itu, baru kali ini ia melihat Reedo menangis.
“Sudahlah, nanti ku carikan merpati lain yang lebih cantik, dan pasti nggak gampang untuk dicium,” kata Bib menggoda, tampaknya ia ingin membantu Reedo menghilangkan kepahitan masa lalu.
Mungkin Bib benar. Pikir Reedo dalam hati.
“Tidak!”
Bib tersentak.
“Aku tidak ingin merpati! Carikan aku Mocking Jay2)!
“HAHAHA.” Tawa mereka merebak, memenuhi seisi ruangan.

 -ΣND-
Catatan:
1.    Salah satu musik klasik favorit dari sepuluh lagu piano terbaik sepanjang masa. Teori yang terkenal mengatakan bahwa pada mulanya Fur Elise berjudul “Für Therese”. Therese yang dimaksud adalah Therese Malfatti von Rohrenbach zu Dezza (1792-1851), wanita yang ingin dinikahi Beethoven tahun 1810. Sayangnya, ia menikahi pria lain sebelum Beethoven menyatakan perasaan cinta kepadanya. Ia adalah puteri dari saudagar dari Wina, Jacob Malfatti von Rohrenbach (1769-1829). Sampai masa meninggalnya, Beethoven tidak pernah menikah dengan wanita lain.

2.    Nama burung dari varietas baru, hasil perkawinan burung Mocking Bird dengan burung mutan yang bernama JabberJay dalam serial buku dan film The Hunger Games: Mocking Jay. Burung yang berukuran kecil ini termasuk jenis burung pengicau yang dapat menirukan suara.

-499 kata tidak termasuk judul dan catatan-

Diberdayakan oleh Blogger.