Selasa, 29 November 2016

Acer Switch Alpha 12, Si Fanless 2-in-1 yang Bikin Betah

Saya adalah calon Urban and Regional Planner. Lumrahnya: mahasiswa Planologi semester 5. Haha.
Mungkin banyak yang belum begitu tahu profesi ini dan kebiasaan di dalamnya.
Eh tunggu dulu, siapa bilang mahasiswa itu bukan profesi ?
2/3 hidup saya ada di perkuliahan, berlama-lama duduk menghadap layar laptop adalah hal yang sudah biasa. Sibuk berkutat di keyboard yang sebaris diketik, saat itu juga direvisi. Pagi ke malam, bahkan sampai ke pagi lagi. Hanya libur di rumah saja saya bisa bebas dari laptop, lebih dari itu selalu quality time dengannya. Apalagi saat mepet UAS seperti ini, deadline sedang ramai-ramainya memenuhi rutinitas. Nonstop. Hampir mirip sama arus mudik, membludak di waktu tertentu yang macetnya nggak berujung sampai hari H tiba.

Saya adalah bagian dari calon engineer, ya “kerja” seperti engineer lainnya. Saya termasuk yang terbiasa tidur larut malam, atau jika sedang buruknya mungkin tidak tidur semalaman. Tangan kanan standby dengan mouse dan mata fokus pada kertas-kertas ukuran A3 atau A0 hingga 3 kali lipatnya A0 yang penuh dengan coretan desain perancangan.



Dulu, sebelum negara api menyerang, laptop saya sering kali mati tiba-tiba, “Ah mungkin kelamaan digunakan,” pikir saya waktu itu. Seluruh dokumen penting ada di dalamnya, kalau laptop mati, maka matilah saya. Haha. Apalagi kalau sudah panas dan cooling pad yang tidak minimalis ini lupa dibawa, tinggal tunggu waktunya saja.

Gerah dengan kondisi laptop yang sering mati tanpa perintah shutdown, saya putuskan untuk mampir ke mas-mas serviceable.
“Wah, ini troubel di kipasnya mbak, keseringan dipakai tapi nggak dimatikan ya?”
Duh, masnya tau aja. Saya mengangguk mengiyakan.
“Sering not responding juga, mas”
“Kalau lagi hidup bunyinya mirip kipas angin lagi nyala nggak?”
“Iya nih, pengganti suara tivi.”
“Haha, mbak bisa aja.”
Setelah bernegosiasi panjang lebar, saya mempercayakan laptop ini untuk diperbaiki. 2-3 hari, dengan harapan si Lapiie nggak kumat lagi. Oh iya, saya punya panggilan khusus, Lapiie (i nya ada dua, bacanya Lepi).



Berbagai momen terekam jelas di Lapiie, mulai dari yang penting, genting, sampai tidak penting. Dokumentasi sejak SMA masih tersimpan rapi, file salah download sampai jenis junk pun ada. Shortcut? Jangan ditanya, sering lupa dioper ke recylcle bin. Draft bertebaran dimana-mana, mulai dari draft laporan, proyek nulis yang gagal diikutkan, draft fiksi yang dari 5 tahun silam niatnya mau dibuat novel, sampai tulisan yang... akhirnya bisa menang lomba:”) hihi

Kuliah dan menulis, dua hal yang tidak bisa saya tinggalkan. Bagi saya, kuliah itu wajib. Adoh-adoh disekolahke, mbok yo dilakoni sing bener to. Bagi saya menulis itu passion, karena kata Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Saya masih belajar menulis, belajar menangkap momen kehidupan, karena menulis adalah yang paling mungkin dilakukan.

Bahagianya kalau lagi menulis itu sulit digambarkan :")
Menulis itu berawal dari orang-orang yang menginspirasi :)
Nah ini, gimana bisa tenang kalau Lapiie mati dan nggak se-comfortable dulu lagi, sedangkan deadline nggak bisa diajak kompromi dan proyek nulis menanti? (Anyway, proyek yang dimaksud bukan semacam proyek pembangunan jalan tol kok :v) 

Ditambah aktivitas tambahan saya di Lembaga Pers Mahasiswa, ketika Kuliah dan Menulis dicampur jadi satu, saat itulah saya merasa butuh rescuer, butuh hero buat menyelesaikan semuanya dalam satu waktu. Apalagi si Lapiie yang sudah semakin tua, kadang tidak bisa selalu standby dengan kondisi mendesak huhu.


Dunia jurnalistik membuka mata saya untuk peka terhadap lingkungan

Waktu Upgrading bersama Kepala Divisi Media
Saat foto jurnalistik berbicara
Belum lagi kalau lagi di kampus tapi nggak ada kamera buat foto random. Kadang lingkungan bisa dengan cepat mengintuisikan para jurnalis untuk memotret kejadian apapun. Ya, karena foto jurnalistik itu berbicara, mewakili keadaan. Sedih nggak sih kalau saat itu gagal mengabadikan momen karena peralatan nggak mendukung? Hft
Eh iya, dengar-dengar ada notebook hybrid 2-in-1 pertama yang menggunakan sistem pendingin tanpa kipas ya? Wah, Acer berhasil mengemas notebook terbaiknya dengan teknologi terbaik dan paling canggih, nih. Gebrakan Acer yang baru ini pas banget sama kita yang hidup matinya ada di dalam laptop, perangkat praktis yang bisa dengan mudah dibawa ke mana saja!

Yap! Switch Alpha 12! Notebook 2 in 1 yang powerful ini cocok untuk aktivitas dengan mobilitas tinggi.


Desainnya yang stylish dengan teknologi Fingerprint Scanner memudahkan user untuk login, bekerja jadi lebih fleksibel dan dinamis! Merangkap di dua fungsi, Switch Alpha 12 bikin siapapun bisa dengan mudah membagi waktu untuk mengasah hobi di luar jam kerja. Baik profesi maupun passion bisa dijalani secara bersamaan, karena notebook ini telah dibenamkan Intel® Core™ generasi ke-6. Dengan deadline kuliah yang seabrek, saya bisa “switch” ke hobi menulis tanpa ribet! Jurnalis juga nggak akan keteteran, deh! Begitupun kalian gaes, jangan sampai digital world tidak bisa mendukung hobi yang kamu geluti.

Pendingin Tanpa Kipas
Adanya dukungan teknologi LiquidLoop™ sebagai sistem pendingin yang dapat menstabilkan suhu mesin notebook tanpa kipas, Switch Alpha 12 bikin betah siapapun saat menjalani segala aktivitas tanpa khawatir notebook cepat overheating dan berisik. Suara mesin laptop itu mengganggu banget nggak, sih?
Nah, nggak perlu ribet bawa cooling pad lagi kayak si Lapiie. Hihi
Keren, nggak tuh?

Tidak adanya kipas pada Switch Alpha 12 juga membuat notebook ini tidak memerlukan ventilasi. Notebook-mu akan bebas debu karena tidak ada sirkulasi udara yang keluar masuk pada mesin laptop. Ternyata jika laptop sering tertutup debu akan menyebabkan efisiensi energi, lho. Notebook dapat membuat sistem menjadi kelebihan panas dan rusak. So, sudah pasti Switch Alpha 12 akan memiliki usia yang lebih lama, nih!

Ah, Switch Alpha 12 jadi bikin betah!
Bobot Ringan
Kamu nggak bisa jauh-jauh dari laptop? Wah, apalagi saya!
Switch Alpha 12 bisa jadi solusi yang tepat buat kita yang produktif, nih! Notebook 2-in-1 ini memiliki ukuran tipis dan bobot yang ringan sehingga bisa dibawa secara bebas. So, kita bisa lebih fleksibel mengerjakan deadline dimanapun dan kapanpun. Menulis nggak terhambat, foto sana-sini pun nggak perlu pusing hehe.
Belum lagi, notebook ini juga telah dilengkapi dengan kickstand yang bisa dimiringkan hingga 165 derajat, lho! Notebook ini juga telah dilengkapi dengan keyboard docking yang terkoneksi melalui engsel magnetik yang memungkinkan perangkat ini untuk dikonversikan menjadi laptop atau tablet lebih mudah. Docking keyboard pada  Switch Alpha 12 walau tipis tetapi telah dilengkapi dengan backlit sehingga memakai keyboard di tempat yang gelap pun ini bukan masalah lagi. Beda dari notebook lain deh!



Masih penasaran apalagi kelebihan Switch Alpha 12 yang bikin siapapun jadi betah?
Ini dia!

Transfer Data Cepat
Switch Alpha 12 telah melengkapi perangkatnya dengan standar USB terbaru, USB 3.1 Type-C. Jika dibandingkan dengan versi sebelumnya, USB 3.1 Type C memiliki beberapa kelebihan yang bisa dinikmati dalam Switch Alpha 12. Apa aja ya ?
USB ini memiliki port bolak balik yang praktis dan tidak ribet. Selain itu, kamu bisa menikmati transfer data yang lebih cepat, yaitu mencapai 5 Gbps. Wow.



Kalau begini ceritanya, si Lapiie bisa tergeser posisinya, nih! Hihi

Display Resolusi Tinggi dengan Fitur Anti Radiasi
Dikejar  deadline sudah pasti menuntut kita untuk berlama-lama di depan laptop, kan ya?
Padahal, hal itu bisa membahayakan mata karena mata akan menjadi cepat lelah dan kering. 
Jangan khawatir!
Switch Alpha 12 punya solusinya! Notebook ini telah melengkapi perangkatnya dengan fitur Acer BlueLight Shield, sebuah teknologi yang mampu melindungi matamu dari emisi cahaya biru dari layar notebook penyebab mata lelah dan kering.

Switch Alpha 12 memiliki display 12”  dengan resolusi tinggi yaitu QHD (2160 x 1440) yang juga dilengkapi dengan teknologi IPS, sehingga memiliki area pandang yang lebih luas dan bisa dipakai untuk bekerja dengan spreadsheet.

Tak hanya itu, sebagai notebook 2-in-1 yang canggih, Switch Alpha juga memberikan kenyamanan lebih dengan stylus pen yang mampu mendeteksi sensor tekanan pada layar secara lebih presisi. Wah, kalau sewaktu-waktu butuh presentasi di depan kelas, sangat mungkin dilakukan, nih. Hihi

Performa oke, kerjaan beres, passion tetap terjaga. Nggak perlu lagi mampir ke mas-mas service. Comfortable banget!
Acer Switch Alpha 12 bisa jadi rescuer-mu di waktu genting, gaes.

Dear Switch Alpha,
Berdua bersamamu, mengajarkanku, apa artinya kenyamanan~

Sumber
Info dan gambar : http://www.acerid.com/
Foto : dokumentasi pribadi 

#Acer Switchable Me, #Acer Indonesia, #Acer Switch Alpha 12



Rabu, 02 November 2016

Perjalanan Sebentar


“We are born without fear, but as we grow old, we learn to worry. We learn to be scared of the unknown. Because the less you fear, the more you live” -Ernest Prakasa

Untuk mereka yang jenuh pada rutinitas;
Untuk mereka yang sibuk dibalik kubikel perkuliahan;
Untuk mereka yang penasaran, padahal ingin mewujudkan, tetapi terlalu mempertimbangkan;
Untuk mereka yang masih betah pada zona nyaman;
Untuk mereka yang sering kali memberi batas;
Untuk mereka yang hanya melihat Indonesia dari postingan traveller di instagram;
Dan untuk mereka yang takut pada rasa takut itu sendiri;
Bergegaslah. Lihatlah Indonesia.
Beranjaklah, agar kau tahu makna sebuah perjalanan.

Jika saja saya tahu bahwa Lawu menyimpan banyak misteri tersembunyi, mungkin tidak akan ada perjalanan ini. Tidak akan ada kesempatan untuk melihat Edelweiss, atau makan di Warung Pecel Mbok Yem (berdasarkan penuturan kaum pendaki, adalah warung tertinggi di Indonesia), atau kesempatan untuk mengalahkan rasa takut. Tidak mungkin ada.

Katanya, gunung ini merupakan peristirahatan terakhir raja Majapahit penghabisan yakni Prabu Brawijaya V. Konon tidak satupun ditemukan jasad sang prabu. Percaya atau tidak, dia disinyalir menghilang bersama abdi dalemnya yakni Kyai Jalak yang katanya merupakan penghuni Lawu dan menjelma menjadi burung Jalak berwarna gading.

(Tidak mungkin saya menulis ini karena pernah melihat Jalak itu secara langsung, sementara membiarkan naluri berpapasan pada rasa takut, bahkan berpijak hingga lama. Legenda hanya berdasarkan referensi yang saya baca di sini).
Tidak salah untuk sekadar tahu, kan?
--**--

Pendakian oleh 16 mahasiwa pas-pasan yang terdiri dari anak rantau minim jiwa petualang dan sedikit diantaranya ragu untuk ikut karena baru pertama kali (baca:saya) ini, berawal dari weekend panjang yang sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Kami berkumpul di salah satu hunian kost untuk siap-siap memulai perjalanan dalam rentang waktu  20.00-22.00.
“Berat muatan carrier sesuai sama umur ya”
“Pas lah, bang haha.”
“Iya, Dit. Sinilah itu, biar kami yang susun!”
“Kok ringan ku liat carrier mu”
“Masih bisa aku koprol ini wkwk”

Padahal semua sudah beres, tapi tampaknya hujan sejenak membekali perjalanan kami dengan petrichor, aroma khas hujan pengundang sendu. Percakapan singkat di warung makan (baca:burjo) saat menunggu hujan inilah yang semakin memperingatkan saya dengan perlahan untuk membatalkan rencana.
“Biasanya itu di Pasar Dieng, tapi nggak menutup kemungkinan ada di sepanjang jalur.
“Serius dulu.”
“Loh, iya. Aku udah ke sana. Katanya sih lempar aja uang recehmu.”
Saya hanya diam, tertegun lama. Ingin sekali memaki diri “Nix, kenapa nggak cari tau dulu sebelum mengiyakan !” batin saya dalam hati, meminta kebetulan yang disengaja dari Tuhan. Tapi masalahnya, cerita ini akan tetap ada.

Saya iseng mencari tahu soal Pasar Dieng pasca pendakian, katanya pasar ini tak terlihat dengan mata biasa namun terdengar keramaian. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendengarnya. Jika kamu mendengar suara 'arep tuku apa mas/mbak?' (mau beli apa mas/mbak), sebaiknya kamu membuang uangmu berapa pun nilainya, lalu petiklah daun seperti sedang berbelanja. Jika ini tak dilakukan, konon kamu bakal menghadapi masalah di Lawu.

Kalau diingat-ingat, ini perjalanan terekstrem yang pernah saya lewati. Mengulang cerita saja, saya masih merinding. Cuma pengin ketawa aja! HAHA. 
Memakan waktu sekitar 5 jam, perjalanan sebentar ini dilengkapi dengan ban bocor di tengah jalan, salah arah, sampai rombongan terpisah jalur.
Saat itu jam masih menunjukkan pukul 08.00,“Di sini aja aku cukup kok, nggak perlu naik!” umpatan dalam benak begitu pertama kali menginjakkan kaki di basecamp, menyadari bahwa tempat itu ternyata cukup tinggi. 

Lansekap dari basecamp
Tidak terbayang bagaimana di atas nanti, bagaimana sepasang kaki mengeluh minta pulang, atau bagaimana jika cerita soal Pasar Dieng itu benar. Sungguh! Ingin rasanya kembali ke hari dimana saya ditawari untuk mendaki. Saya merasa dibodohi waktu.
Gunung yang terletak di antara perbatasan dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa Timur ini mempunyai banyak jalur pendakian. Berhubung via Candi Cetho masih tergolong jalur baru, salah satu dari kami menawarkan untuk melewati jalur yang ternyata tersulit dan terpanjang. Terbayar dengan obyek wisata eksotis Candi Cetho dan sabana yang terpampang luas, sih hehe. 

Hamparan sabana


Perkebunan via Cetho
Di awali dengan doa, cerita yang hanya sebentar ini dimulai. Saya ada di urutan depan, katanya supaya tidak ketinggalan. Saya hanya diam, mengatur ritme napas yang tidak karuan. Sama sekali tidak berani mencuatkan “Capek” atau “Udah nggak kuat” di sepanjang perjalanan.
“Ya Tuhan, apakah ini pilihan dariMu,” celetuk dari belakang memecah fokus. Sebelum tiba di Pos I tertera tulisan “kembali ke basecamp” ke jalur sebelah kanan. Ternyata Bang Sangap! Semua tertawa. Haha!

Lain lagi di pos 3, beberapa bergegas menyiapkan makan siang dan sibuk menyediakan logistik untuk memasak: kompor, nesting, gas, dan bahan makanan. Ada juga yang rehat sejenak, melepas lelah karena muatan carrier yang menyita tenaga, sementara saya memilih untuk menampung mata air yang muncrat ke permukaan. “Nix, ayok ke sana lagi. Air minumnya masih kurang buat nanti.” Bang WS ketagihan! Haha! Sudah jelas basah-basahan, tapi masih mau mengambil risiko kedinginan. “Ayok, bang!” seru saya dengan semangat sambil menyikap botol-botol untuk menampung air. Saya tertawa lama melihatnya kesulitan menghindari muncratan air yang melimpah kemana-mana. 

Di pos 3
“Kata masnya tadi, menjelang sore biasanya hujan, mau pasang tenda dimana?” Saat itu sekitar jam 3, masih ada waktu bergegas ke pos berikutnya. “Beberapa dari kita duluan berangkat cari spot buat tenda, yang lain menyusul.” Bang Adi mulai mengatur strategi, kami rombongan terakhir bersiap-siap melanjutkan.  

-**-
Trek makin di luar logika, ternyata lintasan sebelumnya tidak seberapa, sampai pada akhirnya saya dan yang lain menemukan titik lelah. Sementara hari semakin larut, namun 3 diantaranya masih tertinggal di belakang, tidak ada kesepakatan yang sama: apakah lanjut menemukan tenda yang sudah dipasang atau berhenti untuk menunggu. “Aku liat bayangan di sekeliling kita, perasaanku udah bilang bukan, tapi aku nggak yakin buat lanjut ke atas.” Yunita mengulang kalimat ini beberapa kali ketika sudah tiba di basecamp, bahkan sampai saat ini.

“Ultramaann!!! Ini Ranger Biruu!!!” Bang Asronj melafalkannya berulang-ulang, tak ada jawaban,  hingga gelap yang mengantarkan mereka pada rombongan. Sesekali kami berhenti, mengisi tenaga dengan perbekalan roti diolesi susu coklat, sangat cukup untuk ada di tempat seperti ini. Tidak jarang saya merasa pusing menapaki jalur menuju tenda, ingin sekali membungkus kedua tangan yang sarungnya justru lebih dingin. Angin di sabana berseliweran menggigil, terkadang menderu, terkadang rumput-rumput seakan saling berbisik tentang siapa saja tamu yang datang.

Katanya, Lawu seolah memiliki nyawa yang bisa mendengar setiap kata-katamu. Apa pun yang dikeluhkan biasanya terwujud. Jika mengatakan kelelahan, maka benar-benar dibuat lelah. Jika mengatakan sangat dingin, maka sekonyong-konyong bisa kedinginan! Di luar dari saya tahu atau tidak, angin malam memang tidak bisa diajak kompromi. Entah berapa derajat suhu saat itu.

Tenda di sabana
Tenda dipasang di hamparan sabana, kira-kira masih 1 jam menuju pos 5. Sleeping bag tipis tidak cukup menjadi penghangat selama beberapa jam. Saya terbangun dan mendapati Bang Roy, Bang Sas, Kak Eci, dan Kak Ir masih berbincang dalam tenda, menghangatkan diri di depan api kompor. “Kedinginan, Nix?” Kak Eci mengawali, lalu saya mengiyakan.
“Dibuatkan bubur aja ya, dek. Jadi hangat kok.”
“Nah, dek. Ini aja sleeping bag ku.”
“Gitu ya, oke! Tadi dipinjam nggak mau ngasih.”
“Hahaha”
Perbincangan itu masih terdengar, selebihnya hanya sayup-sayup. Di balik sleeping bag yang hangat, alam mengizinkan mata tertutup bersama kelelahan panjang, menanti fajar untuk kembali melanjutkan perjalanan.

--***---
Sunrise Lawu
Kibaran saka merah putih masih jauh, puncak Lawu ada di balik bukit-bukit yang kokoh. Cuaca sepanjang jalur dari pos 5 hingga puncak atau sebaliknya sama sekali tidak bisa diterka, bisa berubah drastis dalam satu embusan napas. 

Di Pasar Dieng sudah pagi. Aman! Pikir saya dalam hati.
“Masih jauh ya warung pecelnya?”
“Tuh, udah keliatan.”
“Ya Tuhan, ubahkanlah batu ini menjadi roti”
Lagi-lagi Bang Sangap! Haha!

Pasar Dieng

Bebatuan di Pasar Dieng
“Pesan teh anget sama nasi pecel, mbok.” Dan untuk pertama kalinya, saya mencicipi menu ini di atas ketinggian, hanya di Warung Mbok Yem! Masih saja saya teringat saat satu-persatu punya cara sendiri untuk menghangatkan, untuk sejenak melupa lelah saat itu.
“Sas, cobalah ceritakan kenapa kasus Jessica K W itu nggak kelar-kelar?”
“Jadi Jessica ...”
“Oh gitu, emang Hukum Pidana mu berapa nilainya?”
“Kebetulan perbaikan aku, bang haha”
“Zzz”
Percakapan sederhana demikian:
 “Cobalah bang, darimana rupanya asalmu?”
“Asal dari Mamak, Usul dari Bapak”
“HAHA!”

Trek ke puncak
Dulu saya hanya heran, mengapa banyak orang ingin mendaki, menahan dingin menusuk tulang semalam suntuk, menapaki lintasan dengan garis yang tegas dan curam. Kenapa mereka mau menyaksikan gelap yang kosong sepanjang malam, atau membiarkan embusan napas terengah-engah? Apalagi tidak sedikit pendakian yang berisiko; kaki cidera, hipotermia, ketakutan, kedinginan! Kenapa mau?!

Di atas titik tertinggi Lawu, saya merasa begitu kecil. Susah payah perjalanan 8-10 jam seketika hanya bermakna seperti debu sekilas saja. Perjalanan menyadarkan bahwa masalah-masalah yang selama ini saya keluhkan ternyata teramat sepele di hadapan alam. Tentang menghargai apa yang kau punya, tentang usahamu sepanjang perjalanan, atau bagaimana upaya beradaptasi dengan keadaan. Di depan saya, lansekap hijau yang berpadu dengan garis langit biru horizontal benar-benar menenangkan, awan hanya sepenggal saja di depan mata, dekat sekali.  

Langit biru di puncak

Baris belakang : Bang Adi, Bang Roy, Kak Dijom, Bang Sangap, Bang Asronj, Kak Irma, Adit, Kak Lita.
Baris depan : Bang Sas, Kak Sigit, Kak Eci, Kak Wira, Yunita, Onix, Bang WS, Bang Jefri
Terima kasih untuk perjalanan sebentar ini, untuk hal-hal sederhana yang mengantarkan saya pada tawa, atau pelajaran untuk mudah peka. Terima kasih untuk hangat yang ternyata tidak melulu fokus pada objek, tapi bisa juga subjek: tentang bersama siapa kamu berbagi cerita.
Mengenal alam bagi saya mungkin bisa dengan mendaki Lawu, tapi mengenal kalian sepertinya harus dilanjutkan dengan perjalanan lain HAHA! See you next trip, gaes ! Walau sudah sangat bisa diterka, perjalanan kedua dengan 15 orang yang sama tidak akan mudah mengaturnya. Tapi, terima kasih !

Full team
“Bukan gunung yang baru saja kau taklukkan, tapi dirimu sendiri, bersama rasa takut dan cemasmu yang mendidih malam itu.”


Lawu akan terus menjadi nama yang ditakuti, namun tidak pernah kehabisan waktu untuk diijajaki, tidak akan berhenti menjadi cerita bagi banyak orang.


10 September 2016, 
Gunung Lawu




Diberdayakan oleh Blogger.